KASUS PHK YOGYAKARTA 2019 KEMBALI MERUGIKAN PEKERJA

Kasus PHK Yogyakarta 2019

KASUS PHK YOGYAKARTA 2019 KEMBALI MERUGIKAN PEKERJA AKIBAT PASAL 81 UU PPHI DENGAN PENJELASAN YANG ‘CUKUP JELAS’

Kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang banyak merugikan pekerja sering di nilai sebelah mata oleh berbagai pihak. Misalnya, buruh atau pekerja sering dinilai sebagai hambatan bagi perusahaan ketika perusahaan berada dalam suatu masalah. Padahal perusahaanlah yang sebenarnya paling membutuhkan buruh/pekerja untuk menyelesaikan segala produksi dan pekerjaan dalam suatu perusahaan.

Sudah setahun ini, kasus Arifin yang telah di PHK oleh PT. PEKSI GUNARAHARJA (PT. PG),  belum kunjung menuai titik terang. Arifin tidak pernah menyangka akan diberhentikan secara sepihak oleh perusahaan tanpa alasan yang jelas. Menurut PT PG, ia di PHK karena telah melakukan tindak pidana penggelapan atas uang perusahaan PT PG. Tapi sampai saat ini pun tidak ada laporan pemberitahuan mengenai perkembangan kasus penggelapan ini dari Polres Blitar. Ia pun belum memperoleh hak berupa upah atas pekerjaan yang telah ia selesaikan.

Ironi hukum tentang perselisihan hubungan insdustrial kasus ini menambah daftar mengenai sulitnya mengakses keadilan (access to justice) di negeri ini.

KASUS PHK YOGYAKARTA 2019 KEMBALI MERUGIKAN PEKERJA, KASUS PHK KEMBALI MERUGIKAN PEKERJA AKIBAT PASAL 81 UU PPHI

Pada hari Selasa tanggal 19 November 2019 lalu Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) YOGYAKARTA (Yyk) untuk kedua kalinya menolak gugatan yang diajukan oleh mantan pekerja tetap di PT. PG, Arifin. Padahal Arifin selaku Penggugat itu, sebelumnya sudah mengajukan kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ini di PHI SURABAYA (Sby). Adapun pertimbangan para majelis Hakim menolak kasus tersebut adalah berdasarkan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) mengenai kewenangan mengadili (kompetensi relative) peradilan.

BOLA PING-PONG KASUS ARIFIN

Tim Advokat Kantor Hukum RAM and Partners di Ruang Tunggu Pengadilan Hubungan Industrial Yogyakarta

Awalnya Arifin mengajukan gugatan ke PHI Sby pada 27 November 2018, akan tetapi mendapat penolakan yang dituangkan dalam Putusan Sela Nomor: 153/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Sby. Alasan penolakan gugatan Arifin dan mengabulkan eksepsi (tangkisan) Tergugat adalah Pasal 81 jo Pasal 14 UU PPHI.

Pasal 81:

Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.”

Pasal 14:

“(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Majelis Hakim PHI Sby mengabulkan eksepsi PT PG dikarenakan fakta yang terkuak di persidangan yaitu: Pertama, PT PG berstatus kantor tunggal yang beralamat di wilayah Sleman, DIYogyakarta; Kedua, Jabatan Arifin sebagai Pjs Supervisor III di Blitar (merupakan suatu Devisi dari operasional PT PG). Majelis Hakim berpendapat mengenai pengertian Devisi dalam suatu perusahaan merupakan suatu bagian dari perusahaan dan bukan suatu cabang sebuah perusahaan; Ketiga, secara administfatif operasional PT PG adalah di wilayah hukum Kab. Sleman; dan Keempat, Penugasan Arifin bersifat temporer, bukan sebagai tempat pekerja bekerja. Selain itu Majelis Hakim juga mempertimbangkan bahwa Dinas Ketenagakerjaan yang memediasi dan mengeluarkan Risalah Mediasi dan Anjuran Tertulis pun adalah Disnakertrans Kab. Sleman.

Sehingga atas fakta tersebut, majelis hakim memutuskan bahwa PHI Yyk lah yang sebenarnya berwenang memeriksa, memutus dan mengadili perkara ini.

Terhadapan penolakan tersebut, Arifin kembali mengajukan gugatan ke PHI Yyk. Maka diajukanlah gugatan kedua pada 22 April 2019 ke PHI Yyk. Akan tetapi, gugatan tetap mengalami penolakan dan lagi-lagi majelis Hakim kembali mengabulkan eksepsi PT PG pada Putusan Sela Nomor: 34/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Yyk tanggal 5 Agustus 2019.

Alasan Majelis Hakim mengabulkan eksepsi PT PG sebagai Tergugat adalah berdasarkan pertimbangan pada pasal yang sama dengan Majelis Hakim PHI Sby, yaitu Pasal 81 UU PPHI. Tetapi, kali ini hakim PHI Yyk menghubungkan pasal tersebut dengan daerah pekerja sehari-hari bekerja (secara de facto) yaitu di Blitar. Dan bukan pada kedudukan kantor tunggal PT PG selaku pemberi kerja atau pemberi upah.

Majelis Hakim juga memberikan pertimbangan bahwa mereka sependapat dengan Putusan PHI di Pengadilan Jakarta Pusat Nomor: 25/PHI G/2014/ PN.JKT.PST tanggal 24 April 2014 diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 446/K/Pdt.Sus-PHI/2014 tanggal 9 September 2014 yang menyatakan bahwa PHI Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa, memutus dan mengadili gugatan Scott Paul Hutchison karena tempat bekerjanya sehari-hari adalah perusahaan di Bontang, Kalimantan Timur. Sehingga PHI Samarinda lah yang berwenang memeriksa perkara tersebut.

KETIDAKJELASAN PENAFSIRAN HUKUM HAKIM TERHADAP PASAL 81 UU NO 2 TAHUN 2004 TENTANG PPHI

Terhadap Putusan tersebut diatas, Arifin merasa belum mendapat keadilan karena Majelis Hakim di PHI Sby dan PHI Yyk memiliki perbedaan pendapat (disenting opinion) ketika berusaha menjabarkan penjelasan Pasal 81 UU PPHI. Perbedaan tersebut diakibatkan Penjelasan UU PPHI sendiri yang menyatakan bahwa Pasal 81 adalah ‘cukup jelas’.

Dalam Putusan Sela PHI Sby tanggal 20 Maret 2019 yang menyatakan bahwa PT PG merupakan kantor tunggal di Kab. Sleman dan tidak memiliki kantor cabang di beberapa wilayah di Indonesia. Berdasarkan Pasal 81 UU PPHI tentang pengajuan gugatan di PHI yang mana, “…..daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja”,  maka Majelis Hakim berpendapat bahwa pengajuan gugatan seharusnya di tempat buruh bekerja yaitu di wilayah hukum PT PG, Kab. Sleman. Sehingga, seyogyanya PHI Yyg yang berhak mengadili perkara tersebut.

Dalam Putusan Sela PHI Yyg tanggal 5 Agustus 2019, majelis hakim mengaminkan bahwa PT PG adalah perusahaan tunggal yang tidak memiliki cabang perusahaan. Dan menyatakan bahwa tempat kerja Arifin sehari-hari adalah di Blitar. Akan tetapi, kemudian majelis hakim menyamakan kasus Arifin yang bekerja di perusahaan tunggal yang tidak memiliki cabang perusahaan dengan kasus Scott yang sangat jelas bekerja di cabang perusahaan PT Indotambang Raya Megah Tbk di Bontang.

KASUS PHK YOGYAKARTA 2019 KEMBALI MERUGIKAN PEKERJA, PERTENTANGAN PERTIMBANGANAN MAJELIS HAKIM DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL YOGYAKARTA

KASUS PHK YOGYAKARTA 2019 KEMBALI MERUGIKAN PEKERJA
Tim Advokat Kantor Hukum RAM and Partners Menangani Kasus PHK 2019 Yogyakarta

Kemudian, PHI Yyg juga dalam hal ini memberikan pertimbangan yang memiliki pertentangan dalam penafsiran Pasal 81 UU PPHI tersebut dalam gugatan Arifin yang ketiga kalinya diajukan di PHI Yyg pada tanggal 19 Agustus 2019 dan diputus pada 19 November 2019.

Pertentangan tersebut terdapat dalam pertimbangan majelis hakim pada putusan Nomor 39/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Yyg berupa:

  1.  Mengenai kewenangan mengedili (kompetensi relative), majelis hakim hanya mepertimbangkan dari sisi dari eksepsi Tergugat saja, tanpa mempertimbangkan Putusan PHI Sby Nomor 153/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Sby dan bahwa PT PG merupakan perusahaan tinggal dan tidak memiliki cabang perusahaan atau anak perusahaan di daerah lain;
  2. Majelis hakim mempertimbangkan bukti surat yang diajukan oleh Tergugat yaitu bukti T-2 mengenai SURAT TUGAS, akan tetapi mengubah kalusula SURAT TUGAS tersebut dengan SURAT PENEMPATAN KERJA pada pertimbangan selanjutnya;
  3. Majelis hakim menyatakan bahwa PT PG selaku tergugat menempatkan penggugat di ‘tempat usaha’ milik tergugat yang berada di daerah Blitar, Jawa Timur. Dengan demikian majelis hakim berpendapat bahwa tergugat memiliki tempat usaha di daerah lain atau cabang perusahaan di daerah lain selain kantornya yang berada di Kab. sleman. Padahal telah jelas bahwa PT PG merupakan perusahaan tunggal dan tidak memiliki cabang/anak perusahaan di daerah lain.
KUNCI KASUS ADALAH ‘SURAT TUGAS’ ARIFIN

Seorang pekerja yang ditugaskan untuk melakukan pekerjaan di perusahaan cabang/anak yang letaknya di daerah lain pasti secara prosedural harus menerima Surat Tugas dari atasannya. Berbeda dengan kasus Arifin. Sejak dipindahtugaskan ke Blitar sampai saat Kuasa Hukumnya, Advokat di Kantor Hukum RAM and Partners dalam proses mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung, Arifin tidak pernah menerima surat tugas tersebut.

Surat tugas tersebut juga sebenarnya telah dijadikan bukti tertulis oleh Tergugat di PHI Yyk pada perkara Nomor 39/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Yyg (lih. bukti T-2). Akan tetapi, Arifin dan kuasa hukumnya tidak pernah diperlihatkan surat tugas tersebut saat proses verifikasi bukti surat pada sidang pembuktian surat tergugat berlangsung.

Lalu pengadilan manakah yang seyogiyanya berwenang mengadili kasus mantan pekerja PT. PG itu?  Ketika undang-undang dan hakim tidak dapat secara bijak dan adil dalam menyelesaikan perkara ini, haruskah pengadilan langit Yang Maha Adil, ikut andil dalam menegakkan keadilan di bumi manusia ini?

KASUS PHK YOGYAKARTA 2019 KEMBALI MERUGIKAN PEKERJA Penulis: Nurul Qisthy Chumairoh, S.H.

Related posts

Leave a Comment