DILEMA UPAH BURUH DI INDONESIA : I’HISTOIRE SE REPETE
DILEMA UPAH BURUH DI INDONESIA : I’HISTOIRE SE REPETE
Prinsip dalam dunia perdagangan bebas adalah munculnya suatu kekuatan ekonomi dan kesejahteraan, termasuk kesejahteraan buruh. Prinsip ini selaras dengan hukum tertinggi yang tercantum dalam pepatah Latin yang berbunyi: “solus populi suprema est lex (kemakmuran rakyat adalah hukum tertinggi)”. Sehingga diharapkan tidak ada lagi praktek pengusaha yang cenderung untuk mendapat banyak keuntungan, yang bila mengalami kerugian membebankan kepada pendapatan perburuhan atau memberikan upah rendah seperti praktek pengusaha industri di Amerika Serikat bagian selatan dan utara. Jadi, bila Indonesia tidak serius dan tidak transparan dalam menggunakan persyaratan pasar bebas, dan tidak mempunyai strategi matang dalam memasuki persaingan globalisasi, maka akan menimbulkan bencana yang akan mengakibatakan kejatuhan kepemimpinan suatu negara.[1]
Bentuk keseriusan pemerintah dalam menghadapi perdagangan bebas ialah dengan adanya penyusunan peraturan pengupahan yang layak bagi buruh. Inisiatif ini didasarkan pada bentuk penerapan upah minimum di beberapa negara yang menurut Edward Potter, merupakan akibat dari pengaruh globalisasi ekonomi. Menyikapi hal ini, Indonesia dalam menetapkan upah minimum, harus membedakan antara upah minimum yang seragam untuk setiap jenis usaha produksi di suatu daerah dengan upah minimum universal.[2] Selanjutnya, pembedaan hal serupa dikatakan oleh Stephen Pursey dari International Confederation of Free Trade Union (ICFTU), bahwa amat tidak realistis untuk mengharapkan biaya eksportir dari suatu negara dengan pendapatan perkapita lebih rendah dibandingkan dengan industri maju untuk membayar upah yang sebanding. Bahkan Ray Marshall mengatakan, bahwa rendahnya upah disebabkan oleh negara-negara yang belum berkembang yang hanya berupaya untuk mendapatkan keuntungan yang kompetitif, dengan menekan upah standar, dan hanya sekedar keterpaksaan.
Penerapan Upah Minimum Provinsi (UMP) tiap daerah yang disesuaikan dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pada 2018 sebenarnya sudah mulai membaik. Sebab, rata-rata nilai UMP di tiap daerah sudah berada diatas KHL. Akan tetapi, sekarang ini tetap saja ada hal-hal yang menjadi dilema bagi kaum buruh, antara lain: Pertama, mengenai penerapan gaji dibawah UMP atas dasar hitung-hitungan bisnis. Hal ini terutama banyak diterapkan oleh perusahaan skala menengah kebawah sebagai bentuk startegi bertahan perusahaan. [3] Kedua, kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03 persen,[4] sangatlah rendah dan tidak akan memberikan manfaat bagi kaum buruh bila dibandingkan dengan kenaikan BBM yang dapat menimbulkan kenaikan harga-harga barang lainnya, seperti harga kebutuhan pokok, transportasi, sewa/kontrak rumah, dan harga barang lainnya.[5] Ketiga, mogok kerja merupakan upaya terakhir yang sering dilakukan oleh buruh untuk mendapat keadilan[6] dari pengusaha atau perusahaan. Akan tetapi, tindakan ini sering mendapat perlakuan yang negatif dari pihak perusahaan. Mulai dari intimidasi, pemaksaan agar buruh yang mengikuti mogok keluar dari serikat pekerja atau buruh dapat di PHK secara sepihak, walau tindakan mogok kerja yang dilakukan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan[7] yang berlaku.[8]
Dilema buruh mengenai hal-hal diatas sebenarnya sudah pernah terjadi di Indonesia, pada tahun 1955 silam. Dimana para anggota parlemen yaitu Mr. A.Z Abidin dan kawan-kawan mengajukan mosi dan mendesak Pemerintah agar Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang mencabut Peraturan Kekuasaan Militer Pusat No. 1 Tahun 1951, sudah harus dicabut pada akhir bulan Februari 1955. Alasan yang digunakan untuk mengajukan mosi tersebut, antara lain: Pertama, akibat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Ali Sastromidjojo, rakyat semakin sengsara. Kedua, kenaikan harga barang-barang yang tak terkendali mengakibatkan kaum buruh semakin melarat dan semakin menderita. Dan ketiga, sebagai akibat pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang memuat larangan mogok diantara kaum buruh yang sudah sengasara dipenjarakan karena melakukan mogok.[9]
Dilema ini seakan-akan merupakan suatu sejarah yang berulang, dan Pemerintah tetap tidak pernah melahirkan kebijakan yang efektif dalam menyikapi permasalahan tentang buruh.
[1] Abdullah Sulaiman, “Upah Buruh di Indonesia”, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, Juli 2008), Hal. 308-309.
[2] Sebenarnya yang berkeinginan menentukan standar uoah buruh adalah keinginan pengusaha, karena permasalahan peraturan (ketentuan) standar upah sebagai bagian dari biaya pengusaha untuk buruh, seperti: keseragaman upah minimum, keseragaman akan jaminan keselamatan dan kesehatan buruh, dan keseragaman ketentuan menyangkut kontrak kerja buruh. (Jordan J. Paust : 454, 1995)
[3] Tribunnews.com, “Masih Banyak Buruh Diupah di Bawah UMP”. Diakses pada Pukul 10.05, tanggal 2 Januari 2019.
[4] Dikutip dari Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8.240/M-Naker/PHI9SK-Upah/X/2018 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018 per tanggal 15 Oktober 2018.
[5] www.liputan6.com, “Buruh Tolak Kenaikan UMP 2019 Sebesar 8..03 Persen”. Diakses pada Pukul 11.51, tanggal 2 Januari 2019.
[6] Umumnya dalam permasalahan mengenai kenaikan upah, yang selalu muncul di dunia ketenagakerjaan.
[7] Pasal 137 UU No. 3 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
[8] M. Adzkar Arifin Nugroho, dkk., “Jaminan Hukum Mogok Kerja di Indonesia”, (Jurnal Serambi Hukum Vol. 08 No. 02 Agustus 2014 – Januari 2015, ISSN: 1693-0819), Hal. 126.
[9] Abdullah Sulaiman, Op.Cit., Hal. 63-64.
Makalah: DILEMA UPAH BURUH DI INDONESIA : I’HISTOIRE SE REPETE